Militerisasi Kampus: Ancaman bagi Kebebasan Akademik dan Demokrasi

BERITA UTAMA

Admin

4/4/20252 min read

Masuknya personel militer ke dalam lingkungan kampus menimbulkan kekhawatiran terkait meningkatnya pengaruh militerisme dalam pemerintahan Prabowo Subianto. Kehadiran tentara di institusi pendidikan bukan hanya berpotensi mengancam kebebasan akademik, tetapi juga dapat merusak independensi kampus serta menghambat perkembangan demokrasi.

Ironisnya, beberapa pimpinan perguruan tinggi justru membuka pintu bagi kerja sama dengan TNI, khususnya dalam aspek pendidikan dan pelatihan bela negara. Langkah ini beriringan dengan pembahasan revisi Undang-Undang TNI. Seharusnya, pihak kampus menjadi garda terdepan dalam menjaga independensi akademik, bukan malah mengakomodasi kehadiran militer dalam ruang pendidikan.

Kampus semestinya tetap menjadi tempat berpikir kritis yang berlandaskan metode ilmiah serta kebebasan intelektual. Budaya militerisme yang mengedepankan hierarki, kepatuhan mutlak, dan disiplin ketat berisiko mereduksi nilai-nilai kebebasan akademik yang seharusnya dijunjung tinggi di lingkungan perguruan tinggi.

Peristiwa yang terjadi di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, menjadi contoh nyata dari dampak kerja sama ini. Saat berlangsung diskusi mengenai revisi UU TNI, seorang perwira militer yang tidak diundang tiba-tiba naik ke podium dan menyampaikan pandangannya. Kehadiran tersebut menimbulkan kesan adanya intimidasi terhadap kebebasan akademik mahasiswa.

Selain itu, program pendidikan bela negara oleh TNI telah digelar di beberapa kampus seperti Institut Transportasi dan Logistik Trisakti di Jakarta Timur serta Universitas Flores di Ende, Nusa Tenggara Timur. Di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, militer bahkan turut mensosialisasikan revisi UU TNI dari sudut pandang mereka. Situasi ini terjadi di tengah maraknya penolakan mahasiswa terhadap pengesahan undang-undang tersebut di berbagai daerah.

Kehadiran militer di kampus mengingatkan pada kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada era Orde Baru di tahun 1978. Kebijakan itu bertujuan membatasi pergerakan mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah. Pola serupa kini terlihat dalam kerja sama perguruan tinggi dengan TNI, yang membuka peluang indoktrinasi nilai-nilai militerisme di lingkungan akademik.

Pendekatan militer yang menekankan komando dan kepatuhan dapat mengikis daya kritis mahasiswa serta menciptakan atmosfer yang tidak kondusif bagi kebebasan berpikir. Selain itu, pemahaman tentang bela negara tidak seharusnya terbatas pada perspektif militeristik. Prestasi di bidang sains, olahraga, atau kontribusi lain terhadap bangsa juga merupakan bentuk bela negara yang sepatutnya dihargai.

Menariknya, UU TNI yang baru disahkan tidak mencantumkan tugas prajurit dalam memberikan pelatihan bagi mahasiswa. Oleh karena itu, keterlibatan militer dalam pendidikan di kampus dapat dipandang sebagai upaya untuk membentuk narasi tertentu yang membatasi kritik terhadap pemerintah.

Dalam sejarah, perlindungan institusi pendidikan dari pengaruh militer telah diterapkan sejak masa Romawi, ketika Kaisar Konstantinus memastikan bahwa akademisi tidak memiliki kewajiban menampung atau melibatkan tentara dalam lingkungan pendidikan. Ini mencerminkan penghormatan terhadap independensi akademik yang seharusnya tetap dijaga hingga kini.

Kampus harus tetap menjadi ruang kebebasan berpikir dan berbicara tanpa intervensi eksternal. Kebebasan akademik yang menjamin adanya perbedaan pendapat merupakan pilar utama dalam demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, sudah sepatutnya perguruan tinggi meneguhkan posisinya sebagai benteng terakhir bagi kebebasan intelektual dan otonomi akademik

Penyusun : Tim Kontributor